Jumat, 11 September 2009

STRUKTURALISME

Oleh: Sutiyono Sajad
b. Teori Struktural
Strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan diskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra dianggap memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan (Endraswara, 2004: 49). Strukturalisme merupakan paham yang memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Paham ini beranggapan bahwa karya sastra telah dibangun oleh kode-kode tertentu yang disepakati, sehingga memungkinkan pemahaman secara mandiri.
Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra sering dipandang sebagai teori maupun pendekatan. Hal ini tidak salah, karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Pedekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan diungkap dalam karya sastra sedangkan teori adalah pisau analisisnya (Endraswara, 2004: 49).
Pendekatan struktural dilakukan secara objektif, yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung pada penggunaan bahasa yang khas dan relasi antarunsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah “artefak” (benda seni) yang bermakna. Artefak tersebut terdiri dari unsur dalam teks seperti ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa, dan sebagainya yang jalin-menjalin secara rapi.
Penelitian dengan menggunakan analisis struktural dimaksudkan untuk mengetahui unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Panuti sudjiman menyebutkan, struktur yang membangun cerita rekaan biasanya terdiri atas tema dan amanat, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, tokoh dan penokohan, serta pusat pengisahan.
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988: 50). Tema adalah suatu yang menjadi pikiran, suatu yang menjadi persoalan bagi pengarang (Saad dalam Lukman Ali, 1966:118). Tema tidak dapat disimpulkan hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita tetapi dari keseluruhan cerita. Walau sulit ditentukan secara pasti, tema bukanlah makna yang disembunyikan. Tema sebagai makna pokok sebuah cerita rekaan tidak secara sengaja disembunyikan. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya dia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya (Nurgiyantoro: 66-68). Amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. (Sudjiman, 1988 57).
Alur adalah sambung sinambungnya peristiwa berdasarkan hubungan sebab akibat. Staton mendefinisikan Alur sebagai keseluruhan skuen peristiwa-peristiwa yang dihubungkan secara kausal, yaitu peristiwa-peristiwa yang secara langsung merupakan sebab atau akibat dari peristiwa-peristiwa lain dan jika dihilangkan akan merusak jalannya cerita (Sofia, 2003: 14). Pengaluran adalah teknik dalam menyampaikan alur (Prihatmi, 1990: 10).
Latar atau setting adalah tempat terjadinya cerita (Sumardjo, 1982: 57). Segala keterangan, petunjuk, pengacu yang berkaitan dengan waktu ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1988: 44). Pelataran merupakan teknik dalam menampilkan latar (Prihatmi, 1990: 14).
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam suatu cerita. Tokoh-tokoh yang dijadikan pelaku cerita dapat diklasifikasikan dalam bentuk manusia, binatang, atau bentuk lain yang diinsankan (Semi, 1989: 16). Penokohan adalah cara atau teknik dalam menampilkan tokoh-tokoh (Prihatmi, 1990: 12).
Pusat pengisahan atau sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca (Abrams melalui Nurgiyantoro, 2000: 248). Seorang pengarang bisa memakai sudut pandang tertentu untuk mengungkapkan ide menjadi sebuah karya.

SOSIOLOGI SASTRA

Oleh: Sutiyono Sajad
a. Teori Sosiologi Sastra
Kata sosiologi berasal dari bahasa latin socius yang berarti kawan dan logos dari bahasa Yunani yang berarti kata atau berbicara. Benerapa ilmuwan mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antarmanusia yang menguasai kehidupan ini. Jadi, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dalam masyarakat (Soekamto, 1990: 4). Dengan demikian, sosiologi bisa dimanfaatkan untuk penelitian karya sastra dari aspek-aspek sosial (Noor, 2005: 30).
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada pemahaman bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda pengertian dengan sosio sastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra (Damono, 2002: 2). Berbagai pendekatan ini, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu. Namun, semua pendekatan itu menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan atau pengarang sebagai anggota masyarakat.
Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial dianggap menjadi picu lahirnya karya sastra. Peristiwa-peristiwa yang menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Terdapat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Sastrawan adalah anggota masyarakat yang tarikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1).
Dalam telaah sosiologi sastra terdapat dua kecenderungan utama. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin sosial belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk untuk membicarakan sastra. Dalam pendekatan ini teks tidak dianggap utama. Teks sastra hanya merupakan gejala kedua. Kedua, pendekatan yeng menggunakan teks sastra sebagai bahan untuk ditelaah. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan lebih dalam lagi untuk memehami gejala sosial di luar sastra (Damono, 2002: 2-3).